Salman Al Farizi (Persia) memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita anshar (Madinah) yang mukminah lagi shalehah telah mengambil tempat di hatinya. Mengkhitbah wanita pribumi haruslah tau tradisinya, maka dari itu Salman meminta bantuan Abud Darda', seorang sahabat anshar yg dipersaudarakan dgn Salman.
Abud Darda' : '' Ini adalah Salaman seorang persia. Allah telah memuliakannya dengan islam dan ia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah sampai beliau menyebutnya sebagai ahli baitnya. Saya datang mewakili saudara saya Salman untuk melamar puteri anda''.
Ayah : '' Adalah kehormatan kami menerima anda berdua apalagi bermenantukan shahabat Rasulullah. Tetapi hal ini saya serahkan sepenuhnya kepada puteri kami''.
Ibu : '' Maafkan atas keterusterangan ini. Puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda' memiliki urusan yang sama maka puteri kami memiliki jawaban mengiyakan''.
Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sebuah perasaan di mana cinta dan persaudaraan berebut tempat dlm hati. Malu yang membuncah sekaligus sebuah kesadaran bahwa ia belum punya hak sedikitpun atas wanita yang dicintainya.
Salman : '' Allahu Akbar, semua mahar dan nafkah yang tlh kupersiapkan ini akan aku serahkan kpd saudaraku Abud Darda' dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian''.
Cinta tak harus memiliki dan sejatinyapun kita tak pernah memiliki apapun di dunia ini. Salman mengajarkan kpd kita utk bersadar diri di tengah perasaan yg berkecamuk rumit, malu, kecewa, sedih, merasa dikhianati tetapi membalasnya dgn kesadaran dan pengorbanan. Rasa memiliki sering kali membawa kelalaian, orang jawa bilang '' Milik nggendhong lali''. Apa yang kita miliki saat ini, entah itu perasaan atau harta sejatinya harus kita kembalikan kpd Allah. Gunakan apa yg kita miliki saat ini sebagai bekal utk kembali kepada-Nya. Bismillah..
Selasa, 02 Maret 2010
Kisah Cinta Sahabat Nabi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar